Sabtu, 06 Desember 2008

i'm sick! [iklan pemutih kulit : diskriminasi !!]

Kali ini gue mo ngomong serius. Sudah sejak bertahun-tahun lalu gue membaca artikel-artikel yang ditulis oleh para feminis yang juga pakar media mengenai iklan pemutih wajah. Intinya: diskriminasi! Diskriminasi terhadap tampilan fisik, yang kemungkinan besar bawaan lahir yang tidak mungkin diubah, kecuali dengan cara-cara yang tidak alami.

Bahasannya ada yang menggunakan kajian poskolonial, bagaimana kita masih saja terjajah: tampilan bule superior, sedangkan tampilan pribumi inferior.

Tentu saja bahasannya ada yang mengenai kekejaman bisnis, bagaimana self-esteem perempuan dikorbankan untuk menjual produk sebanyak mungkin.

And how could I think that after all that, para pengiklan akan sedikit terbangkit hati nuraninya?

Iklan salah satu pemutih wajah terakhir jelas-jelas menyatakan bahwa cewek kulit hitam jomblo terus dan nggak punya pacar, sampai ia pakai produk itu, dan akhirnya dia dikejar-kejar banyak cowok, karena sekarang dia lebih putih. Kemudian, ada lagi iklan pemutih wajah yang bintangnya Marini Zumarnis yang nampilin pendapat pria-pria yang bilang kalo cantik itu = putih. ugh!

I’m sick. Gue mual. Gue mual karena nonton iklan setengah menit. Gue mual karena marah. Gue mual karena muak.

Ada iklan-iklan yang sedikit gue hargai, karena menurut gue iklan tersebut tidak berusaha mendoktrin nilai-nilai terhadap kulit putih. Iklan tersebut hanya berdasar pada kenyataan bahwa kulit putih adalah dambaan sebagian besar perempuan Indonesia, dan produk akan membantu mencapai keinginan tersebut. Jadi iklan tersebut mengandalkan hasrat yang memang sudah ada, namun tidak berusaha menciptakan hasrat itu.

Sedangkan beberapa iklan jelas-jelas berusaha membangun nilai bahwa kulit putih lebih baik, lebih menarik, menguntungkan, daripada kulit putih, dan lebih buruk lagi, membangun nilai bahwa kulit hitam itu buruk, sama sekali tidak menarik, dan membuat lo jomblo.

Pendekatan gue adalah pendekatan seorang perempuan dari sebuah sudut pandang yang tidak merasa perlu berbenturan dan ‘mencurigai’ laki-laki, tapi lebih kepada sebuah kecurigaan atas motivasi apa di balik benak laki-laki dan perempuan ketika mereka berpikir dan bersikap. Kecurigaan atas sebuah pandangan atau isme tertentu di balik sikap baik laki-laki dan perempuan yang begitu mengagungkan ke-putih-an sebagai standard kecantikan.

Kecurigaan ini menjadi sebuah keprihatinan manakala sepupu perempuan gue yang saat itu masih duduk di bangku TK, melumuri tubuhnya dengan sabun mandi dan tidak sungguh-sungguh berniat membasuhnya dengan air hingga bersih. Usut punya usut ternyata ia ingin punya kulit putih seperti yang sering diiklankan dalam sabun mandi di TV. Cantik menurut pandangannya yang masih kanak-kanak itu adalah sosok berkulit putih yang selalu ada cairan-cairan tertentu dilumurkan di tubuhnya. Ia masih belum bisa membedakan antara sabun mandi dengan lotion pemutih kulit yang memang mendominasi produk kecantikan.

Logika kanak-kanak ini ternyata diadopsi oleh sebagian besar manusia yang mengaku dirinya dewasa. Berapa banyak korban berjatuhan karena produk pemutih ini ternyata tidak cocok dipakai di kulit terutama wajah perempuan. Indonesia menjadi pasar konsumen yang menggiurkan karena memang dengan iklim tropisnya, mayoritas kulit perempuan bukan putih tapi cenderung sawo matang. Dengan gencarnya tayangan iklan yang mendewakan kulit putih, menjadikan perempuan-perempuan Indonesia tidak lagi rasional dalam memilih dan memilah produk.

Ketika satu kali gue main ke rumah salah seorang teman dan menemui produk pemutih di deretan kosmetiknya, dengan bercanda gue tanyakan ‘habis berapa botol untuk menjadikan kulitmu benar-benar putih seperti di iklan?’ Dia pun hanya nyengir saja karena kami berdua tahu ia dikaruniai kulit sawo matang yang cenderung gelap. Iklan ditayangkan memang sengaja untuk memancing nafsu konsumerisme manusia meski seringkali harus dengan menafikkan rasionalitas yang ada. Iklan dipasang untuk memberikan sebuah opini bahwa kulit yang gelap menjerumuskan perempuan ke dalam kategori yang tidak diinginkan. Sehingga bagaimanapun caranya, para perempuan akan berlomba membeli produk pemutih tersebut agar hadir menjadi sosok yang diinginkan oleh lawan jenis.

Di saat perempuan goyah dengan identitas jati dirinya sebagai perempuan Indonesia yang berkulit tidak putih, laki-laki hadir memperburuk kondisi ini. Ia memperkukuh anggapan bahwa perempuan cantik adalah perempuan dengan kulit putih. Hal ini terbuktikan dengan banyaknya ‘sharing’ kepada gue bahwa ‘the most wanted women’ adalah mereka yang berkulit putih. Dan beberapa lingkaran pertemanan gue juga menunjukkan gejala tersebut dengan menyebutkan salah satu syarat perempuan yang diinginkan laki-laki adalah yang berkulit putih.

Merujuk kepada like dan dislike ini, tidak bisa tidak gue harus menengok kepada sejarah bangsa. Pengalaman dijajah oleh bangsa berkulit putih ternyata membekaskan trauma tertentu dalam benak masyarakat kita.

Obsesi terhadap putih ini ternyata tidak hanya sekedar obsesi terhadap kecantikan, namun ada yang lebih mendasar daripada itu. Di bawah alam sadar kita, sesungguhnya yang terjadi adalah mental sebagai bangsa terjajah masih membekas dalam diri kita, baik laki-laki maupun perempuan yang silau terhadap ke-putih-an ini. Bell Hooks yang dikutip oleh Aquarini mengatakannya sebagai obsesi terhadap putih dapat dikategorikan sebagai suatu colonial nostalgia bahkan mungkin colonial trauma.


Mental bangsa terjajah ini berlanjut ketika imperialisme menemukan wajah baru dan menyusup di sela-sela sendi budaya. Ia hadir tidak lagi dengan membawa senjata dan berdiri di luar rumah, namun dengan sopan penjajahan ini menyelinap di tengah-tengah keluarga ketika kita sedang bercengkerama dan tertawa bersama. Media massa adalah corong efektif untuk membangkitkan nostalgia masa lalu ketika sang terjajah begitu pasrah dijajah oleh penjajah. Pada titik ini, bukan hanya perempuan sebagai korban dan dikorbankan (sebagaimana kata Dian Sastro yang pernah dimuat Kompas) namun laki-laki yang notabene dianggap sebagai penindas perempuan, juga mengalami diri menjadi korban meski tidak harus dikorbankan.

Perempuan sebagai korban dan dikorbankan telah jelas maknanya ketika ia sebagai subjek sekaligus objek yang dikenai tindakan dalam imperialisme budaya. Ia adalah pelaku yang ditampilkan dalam iklan pemutih, dan ia pula yang disasar sebagai calon konsumen yang terkenai mitos tentang putih. Laki-laki hadir sebagai pelengkap penderita yang teropini bahwa standard cantik adalah perempuan putih sebagai nostalgia masa lalu bahwa perempuan putih itu pula yang pernah menjajah dirinya sebagai sejarah bangsa. betul tidak ??

5 komentar:

  1. waw..beratttt...
    yay!

    BalasHapus
  2. knapa mesti putih kalau dasarnya uda hitam.. syukuri aja nikmat tuhan_KU. Tapi kalau mbk shita uda putih kok...>>>>>

    BalasHapus
  3. y tu diskriminasi...
    emank mreka pikir cewek yg dikaruniai Tuhan kulit item gag layak,gag pantes tuk dicintai n dpt psangan??? pokok na idup kulit gelap!!!! jangan mindeR temand

    BalasHapus
  4. yess!! akhirnya banyak juga cewe2 indonesia yang sadar akan hal ini. Aku bikin gerakan Anti Skin Whitening. Kita sebar luaskan yuk biar pemutih pada ga laku :D visit my blog girls :
    http://beautyonwatch.wordpress.com/

    BalasHapus